Friday, August 19, 2011

Kini Saatnya Ilmu Humaniora Unjuk Gigi

Siapa yang tidak mengetahui Jepang? Negara itu sudah maju sejak zaman perang dunia. Negeri Sakura itu terkenal dengan berbagai kekreatifitasannya dalam memanfaatkan sesuatu. Sudah banyak contoh produk-produk Jepang yang merajalela di negeri kita. Dari kosmetik, obat-obatan, film, transportasi, bahkan komik. Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap segala sesuatu tentang Jepang bukanlah sesuatu yang tidak wajar untuk terjadi, mengingat Jepang memang negara yang cukup ‘berhasil’ di dalam teknologi. Tidakkah kita melihat ke jalan, segala transportasi yang ada merupakan merk-merk yang berasal dari Jepang. Kemampuan Jepang mengolah teknologi tentu saja tidak hanya dalam bidang transporatasi seperti itu, namun dalam sebuah rakitan-rakitan robot.
            Tercatat salah satu robot tercanggih di dunia saat ini adalah Asimo. Asimo adalah robot yang dibuat oleh Honda Motor Company – Jepang. Bentuknya menyerupai manusia dengan tinggi 130 cm dan berat 54 kg. Asimo tidak seperti robot biasa karena dia sangat ‘pintar’. Robot ini dapat menerima perintah suara serta memiliki gerakan yang lebih halus berbeda dengan robot-robot yang lain. Hal ini membuat Asimo dapat dimanfaatkan dalam berbagai pekerjaan.
            Selain Asimo, Jepang juga menciptakan T-52 ENRYU. Robot ini diciptakan pada tahun 2004 untuk membantu pengevakuasian gempa di Jepang. T-52 dapat mengangkat beban 500 kg dengan satu lengan. Tahun 2007, muncul versi terbaru dari T-52, yaitu T-53 yang diciptakan khusus untuk misi penyelamatan gempa di Jepang.
            Robot-robot di atas merupakan dua dari 10 robot yang tercatat sebagai robot tercanggih di dunia. Sungguh luar biasa, ya dapat menciptakan robot seperti itu. Dengan berbagai keahlian dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Jepang, mereka dapat menciptakan sebuah robot yang menyerupai manusia serta bertingkah laku hampir seperti manusia. Dapat diperintah dan dapat membantu manusia, walaupun sangat memiliki batasan tertentu. Selain memiliki keterbatasan kemampuan, untuk membuat sebuah Asimo, kita perlu mengeluarkan 100 juta Yen. Tidak murah untuk dikonsumsi!
            Manusia dapat menciptakan sebuah robot dengan ilmu-ilmu eksakta. Kita yakini saja para ilmuwan itu ingin sekali membuat robot yang serupa dengan manusia. Dengan kata lain, ingin menciptakan teman baru dengan ilmu-ilmu pasti yang mereka miliki. Segala jenis penemuan-penemuan dari ilmu eksakta nyaris tidak pernah mengecewakan. Bidang kedokteran misalnya. Hingga detik ini pun, para dokter-dokter selalu meneliti penyakit baru serta bagaimana menemukan penawarnya. Selain itu penciptaan-penciptaan lain seperti robot dan alat-alat dengan teknologi lainnya pasti memukau bila diperkenalkan pada masyarakat luas.
            Lalu bagaimana dengan humaniora? Ilmu ini seperti sudah terlupakan hilang ditelan bumi. Humaniora sering dianggap ‘kurang’ penting dan ‘kurang’ menarik karena penuh dengan teori yang membosankan. Humaniora juga sering dianggap kurang menarik karena tidak memiliki tantangan di dalamnya. Berbeda dengan ilmu-ilmu eksakta yang melakukan eksperimen, dan sebagainya.
            Apa yang dapat dilakukan oleh ilmu humaniora? Jika sepasang kekasih yang sudah menikah sedang dideru asmara, secara alami mereka akan melakukan hubungan seksual untuk menciptakan teman baru (keturunan). Walaupun memiliki unsur eksakta (biologis) di dalamnya, namun sebelum pasangan itu melakukan hubungan seksual, tentu saja mereka memiliki rasa cinta terlebih dulu. Rasa kesukaan satu dengan yang lain, kecocokan satu dengan yang lain, dan memiliki kepercayaan yang sama. Dengan begitu pasangan tersebut akan meneruskan hubungan mereka ke dalam sebuah pernikahan yang sah dan baru melakukan hubungan seksual untuk membuat teman baru.
            Hanya bermodal rasa sayang (ilmu humaniora) terhadap pasangan saja kita sudah bisa membuat seorang teman baru atau keturunan. Berbeda dengan ilmu eksakta yang perlu menghabiskan waktu cukup lama untuk bereksperimen dan membutuhkan banyak tenaga ahli serta uang yang tak sedikit untuk membuat sebuah Asimo yang memiliki keterbatasan.
            Humaniora adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya (Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI]) Masih dalam batas manusiawikah bila kita mengintip persoalan Libya dan Amerika?
            Banyak dari antara pihak yang berpendapat pro dan kontra terhadap masalah kedua negara ini. Bermula dari Khadafi yang sudah 42 tahun tidak turun jabatan hingga dikaitkan dengan Amerika mengincar tambang minyak Libya. Siapa yang peduli dengan itu semua, jika segala sesuatunya berujung kematian. Segala macam perang yang selalu ada di dunia tidak pernah luput dari darah yang tercucur serta jumlah korban yang tak terhitung banyaknya. Jika ilmu eksakta mampu menciptakan rudal-rudal canggih serta pesawat tempur F-16 milik Amerika, apakah ilmu eksakta juga mampu menjamin kita semua dapat menikmati dampak ’keindahan’ dari senjata ciptaannya itu?
            Untuk menghabisi 20 titik pertahanan Libya, Amerika membutuhkan lebih dari 110 rudal dan 48 nyawa melayang karenanya serta kurang lebih 150 orang luka-luka. Hal ini tak serta merta menerima sorak-sorai dari rakyat Amerika. Justru banyak demonstrasi yang terjadi di Amerika menentang adanya peperang lebih lanjut antara Libya dan Amerika. ”Kami tak percaya aksi militer dapat membawa demokrasi atau perdamaian dunia.” ujar salah satu demonstran Amerika (Liputan Berita VOA - 21 Maret 2011).
            Namun, tak semua orang dapat berpikir dengan kepala dingin dan berlandaskan humaniora. Khadafi sendiri menyatakan bila Amerika memang menginginkan perang yang sesungguhnya, Libya siap tempur menghadapi Amerika. Khadafi juga telah menempatkan kaum wanita dan anak-anak pada kompleks pemerintahannya dan di beberapa tempat sasaran untuk dijadikan perisai manusia. Lantas, dimana ilmu eksakta mempertanggung-jawabkan ini semua? Jika dari awal, Amerika dan Libya mau melakukan perundingan dengan kepala dingin, tentu saja tidak akan pernah ada senjata melawan senjata yang menumbalkan banyak jiwa tak berdosa.
            Begitu juga dengan perang Amerika dengan Vietnam. Pada tahun 1957 – 1975 dimana perang saudara antara Vietnam selatan dan Vietnam utara berseteru mempertahankan ideologi pemerintahannya masing-masing. Vietnam selatan yang didukung oleh Amerika terpukul kalah pada tanggal 30 April1975 oleh semangat rakyat Indochina (Vietnam utara). Dunia harus mengakui bahwa sebuah negara mandiri dengan peralatan persenjataan yang lengkap seperti Amerika, dikalahkan oleh sebuah semangat persatuan masyarakat Vietnam utara. Toh, hingga detik ini dunia mencatat kekalahan terbesar Amerika Serikat dalam sejarahnya adalah peperangannya dengan Indochina. Sebuah kekalahan teknologi canggih buatan ilmu eksakta oleh semangat juang pantang menyerah dan kecintaan pada bangsa yang merupakan salah satu ’karya’ dari ilmu humaniora!
            Tidak ada yang menyangka Amerika akan kalah dengan para Indochina dalam peperangan tersebut. Investigasi menyatakan, salah satu kegagalan Amerika dalam perang Vietnam adalah cara pandang mereka yang salah – menggampangkan daerah jajahan. Amerika selama itu tidak mengetahui adanya negara bernama Vietnam di dalam peta Asia Tenggara. Ketika Amerika mendapatkan kesempatan untuk ’masuk’ ke dalam negara itu, Amerika merasa dapat menguasai Vietnam dengan cepat. Namun, kebodohan Amerika menjadikannya terusir dari negara jajahannya tersebut. Tidaklah Amerika tahu bahwa masyarakat Vietnam yang sesungguhnya adalah masyarakat yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan tidak mudah menyerah (ilmu humaniora). Ketidakpedulian Amerika terhadap seluk beluk tentang Vietnam pada akhirnya dibayar mahal oleh Amerika. Karena ketidakpedulian itu yang menyebabkan Amerika cenderung berpikir bahwa Vietnam hanyalah sebuah ’negara kecil’ sehingga sikap awalnya menyepelekan.
            Sebagaimana warga dunia melihat kesuksesan demi kesuksesan yang diraih oleh cabang-cabang dari ilmu eksakta, sejauh itu juga mereka memandang sebelah mata sebuah ilmu humaniora. Pada intinya kedua ilmu dari kajian yang berbeda ini saling membutuhkan satu sama lain. Tidak ada yang kurang, tidak ada yang lebih. Tidak ada yang jelek dan tidak ada yang bagus. Semua sama.
            Apa jadinya dunia tanpa sebuah penemuan obat-obatan dari dunia farmasi? Maka semua orang sakit pasti mati tanpa pertolongan. Lalu, bagaimana dunia jika bursa saham mati pandangan hanya karena tidak ada ekonom-ekomom yang terlatih untuk mengamati grafik angka keuangan dunia? Sudah saatnya masyarakat sadar akan keberadaan serta kedudukan yang setara akan ilmu humaniora dalam siklus perputaran ilmu pengetahuan. Ada kalanya ilmu eksakta dapat unjuk gigi. Tapi ada kalanya juga ilmu humaniora diunggulkan. Dan kini, ketika dunia makin menghancurkan dirinya, sudah saatnya ilmu humaniora kembali tampil memimpin. Memimpin dunia yang damai dan sejahtera serta saling menghargai sesama manusia tanpa memandang agama, suku, bangsa, golongan, keyakinan, dan ras!