Thursday, April 18, 2024

Perjalanan Mendaki Gunung Kehidupan

Pengalaman pertama kali mendaki gunung tentu saja jadi pengalaman yang cukup berkesan buat aku. Gunung Batur, Kintamani, Bali - bukan yang tertinggi di Bali, bukan yang tersulit jalurnya, tapi ku akui cukup menguras tenaga untuk ku yang pemula. 

Selayaknya orang mendaki gunung, aku dan tim memulai perjalanan mendaki Gunung Batur sejak subuh.
Jalur mendaki yang kami pilih cukup terjal, tidak beginner friendly, berbatu-batu, dan menguras tenaga. Bebatuan - iya sepanjang perjalanan mendaki ke puncak Batur, bebatuan itu cukup mengganggu langkah kita dalam mendaki. Yang kulakukan tidak hanya mencari pijakan yang tepat untuk kaki ku, namun ada kalanya dibutuhkan posisi merangkak (tangan menggapai bebatuan) untuk dapat terus berjalan naik.

Adakah diantara kita ketika mendaki gunung lantas mengangkat bebatuan untuk dibawa hingga puncak? Atau adakah yang dengan sengaja menggendong batu-batu besar lalu dibawa ikut mendaki? Duh, konyol ga sih. I don't think kita melakukan hal-hal seperti itu. Nah, gitu juga dengan hidup ini.

Ibarat perjalanan hidup kita seperti mendaki gunung, bebatuan yang kita temui sepanjang pendakian ibarat masalah dalam kehidupan kita. Siapa sih yang hidup tapi problem free? Kalo ada kenalin ke aku, hahaha. 


Namun, untuk berupaya tetep bertahan bahkan maju dalam kehidupan ini, masalah-masalah yang kita miliki wajib kita hadapi namun tidak perlu kita pusingkan dengan ekstra. Seperti batu-batu yang bisa kita injak untuk dijadikan pijakan mendaki, begitu juga masalah-masalah yang kita sedang hadapi saat ini. Tidak semua masalah itu jelek untuk hidup ini. Banyak yang malah menjadikan kita jadi lebih baik. 

Tentu saja ketikan dan teori ini tidak segampang itu diaplikasikan di kehidupan kita ya. Personally, when it comes to problems, I found my self struggling to revive quickly. Ini bisa jadi subjective, sih. Season hidup kita kan beda-beda, maka berbeda pula respon setiap orang dalam menghadapi, menyelesaikan, bahkan mendoakannya. Tapi yang pasti, beban masalah jangan digendong kemana-mana hahaha. Perjalanan hidup kita masih panjang. Ga bawa beban aja uda ada beban baru, jadi bijaklah memilah masalah-masalah hidup mana yang perlu diinjak sebagai pijakan kita ke next level.

Hal kedua yang kita bisa dapati sepanjang mendaki gunung adalah kabut. Kabut muncul dan ga jarang mengganggu jarak padang kita ke depan. Kabut bisa diibaratkan dengan cara pandang kita terhadap masalah. Bisakah kita melihat masalah yang sedang kita hadapi sebagai hal yg baik di hidup kita? Atau malah sebaliknya? Kita jadi terlarut terlalu lama dan menolak bangkit dari keterpurukan masalah kita?

Masalah itu selalu ada, ga perlu dicari - but what makes the difference is how do we handle them. Bagaimana sudut pandang kita terhadap masalah tersebut. Karena sudut pandang kita menentukan cara kita bereaksi dan merespon suatu masalah.

Sekali lagi - disclaimer, ketikan ini tidak segampang itu untuk diaplikasikan di kehidupan nyata. Kita semua sama guys, kita butuh proses dan diproses lagi dan lagi.

PROSES

Biarlah melalui masalah yang kita hadapi sekarang kita boleh keep on practicing what God has prepared us to be. Teruslah mau diproses dengan Tuhan dalam menghadapi batu-batu kehidupan aka your problems. Karena Tuhan bilang di Roma 8:26 Demikian pula Roh membantu kita dalam kelemahan kita. Sebab kita tidak tahu apa yang harus kita doakan sebagaimana mestinya, tetapi Roh sendiri berdoa bagi kita dengan keluhan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Jadi, jangan hidup dalam kabut dan lupa berdoa karena Tuhan tau, denger, dan memperlengkapi kita senantiasa. Look up, move on, move forward, and God bless.


Friday, June 3, 2022

Ketaan Dalam Ketenangan

Bulan Februari 2022 kemarin, aku kenalan sama teman baru dari Medan. Singkat cerita, dia berasal dari keluarga non-believer namun dia pribadi sudah menerima Tuhan Yesus sebagai juru selamatnya. Di tengah perbincangan, dia tanya "Kamu sudah lahir baru?" jujurly, aku bingung jawabnya. Karena, satu, aku bahkan ga ngeh-ngeh banget artinya lahir baru itu apa. Kedua, ada rasa terintimidasi ketika dapat pertanyaan ini, what would he expect if I say no? Karena kalo secara timeline, aku lahir juga sudah kristen. "Aku rasa belum..." jawab ku sambil ketar-ketir. "Oh, coba deh baca buku ini, Not A Fan by Kyle Idleman. Semoga bisa bantu kamu buat bertumbuh lagi di dalam Dia..." 

Buku yang sama dimention disalah satu sunday service di bulan April kemarin. Jika kita terjebak dalam definisi "sudah beragama kristend dari lahir" atau "I am familiar with church setting" hati-hati sis. Karena bisa jadi kita yang hanya jadi "penggemarNya" dan bukan "pengikutNya". 

Menjadi pengikut Tuhan (atau murid) itu jelas beda definisi dengan penggemar. Seorang murid, kalo punya tugas pasti dikerjain karena punya rasa tanggung jawab dan keinginan untuk melaksanakan. Tapi seorang penggemar dikasi tugas, belum tentu punya rasa tanggung jawab dan keinginan untuk melakukan tugas tersebut. Susah ya bahasanya? wkwkwk. 

Ambil contoh deh. Kamu ngefans sama tim footy aussie called Richmond FC. As a hardcore fans, setiap kali tim footy ini tanding di MCG, lu orang pasti dateng dong (mana tiketnya murah pula, LOL). Duduk, nyorakin, dan nyemangatin tim lo. Pas tim lo kalah, apa yang akan lo lakukan dari tempat duduk penonton? Pulang kan? Bisa ga lo dateng ke changing room mereka terus have a talk with the team and management? I doubt it. Karena perasaan pertama pasti lo sedih, kecewa tim lo kalah and next you just want to go home. But, if you are a part of the team - say lo manager nya atau bahkan coach nya. Ketikad tim ini kalah, mereka akan kumpul di changing room, evaluate, ngobrol, dll. Kalo menang gmn? Ya, they will celebrate - prolly with you too via TV. Tapi tim inti akan selalu bareng - involved. 

Semoga bisa lebih dimengerti dengan contoh di atas, hehehe. Kalo cuman fans, kamu ga akan involved sejauh itu tentang evaluasi tim atau performa pemain selagi mereka di lapangan. Tapi kalau kita tergabung dalam tim itu, pastinya itu tanggung jawab dan keperluan kita untuk evaluasi, kan? Same thing with being His disciples vs His fans. 

Mengikut Tuhan itu pastinya ga akan gampang. Kita semua sudah tau teori memikul salib. Tapi, kesukaran adalah tanda kehidupan. Memang, memutuskan untuk mengikut Yesus itu ga boleh terburu-buru dilakukan. Yang terpenting itu hati kita sih. Tuhan melihat kok kedalaman hati kita. Serindu apa sih kita sama Tuhan sampai memilih untuk menjadi muridnya. 

"Tenangkan dirimu. Doa, tanya Tuhan dulu baru bertindak. Ingat, jaminan dari Tuhan itu adalah Imanuel - Allah beserta kita. Berjalanlah dalam takut akan Tuhan." 

Kalo belum sekarang, ya gpp. Tenang dulu, doa minta hikmat dari Tuhan. Dari hasil tanya-tanya sana-sini, mereka bilang, cara Tuhan ngomong itu biasanya di dalam ketenangan kita. Belajar untuk taat dalam ketenangan, supaya kita bisa denger apa yang Tuhan mau kita kerjakan. 

Semoga memberkati. God bless. 

Sunday, March 27, 2022

MENGENAL TUHAN LEBIH DEKAT LAGI

 Sunday Service, 27th March 2022

MENGENAL TUHAN LEBIH DEKAT LAGI 2 Tawarikh 7:13-16 

-Kalo kita tidak mengenal Tuhan kita itu siapa, dan bagaimana cara kerja Tuhan, kita akan mudah kecewa sama Tuhan. Kita akan mudah marah sama Tuhan. Hilang pengharapan jadi pilihan dan berakhir pada mati konyol. 

-Anxiety adalah kondisi mental yang tidak sehat dan sering sekali terjadi akhir-akhir ini. Dapat timbul karena kecemasan berlebihan dan lagi-lagi karena kita tidak mengenal Tuhan kita itu siapa dan cara kerjaNya bagaimana. 

3 level kita mengenal Tuhan dari bahasa Yunani:

1. Gnostos (kenal/tahu): Kita mengenal Tuhan berdasarkan apa kata orang. "Somebody told me about God..." Ibarat bayi yang baru lahir, level pemahaman ini masih dangkal. Kita mengenal Tuhan hanya sekedar dengar dari orang, artinya pondasi kita tentang Tuhan masih sangat minim sehingga iman kita masih gampang digoyahkan. Kita gampang berpaling dari Tuhan setiap kali mendapat masalah atau bahasa gawlnya gampang murtad. 

2. Oida (kenal/mengerti): Mengenal Tuhan berdasarkan data atau fakta. Kita mengenal Tuhan dari kesaksian orang atau melihat langsung mujizat yang Tuhan berikan di hidup orang lain.  

3. Ginosko (kenal/pribadi/mengalami): mengenal Tuhan karena kita mengalami sendiri berdasarkan pengalaman pribadi kita dengan Tuhan. Ginosko 205 kali diucapkan dalam Perjanjian Baru. Contohnya Ayub yang mengalami sendiri Mujizat Tuhan dalam hidupnya. Banyak dari kita yang hanya puas sampai pada titik mengetahui tentang Kristus, tapi tidak merindukan untuk mempunyai hubungan dengan Dia. Yuk ges, kita selidiki hati kita masing-masing apakah kita hanya tau tentang Kristus ataukah kita ada dalam hubungan dengan-Nya? 

Tuhan itu kadang mengijinkan masalah datang dalam kehidupan kita, karena Tuhan ingin kita mengenal Dia lebih lagi. Sewajarnya kita sebagai manusia, jangan mengeraskan hati kita. Kenapa? Karena yang rugi ya diri kita sendiri. Kita rugi waktu cuman untuk kekeh atas pendirian kita yang tidak sama dengan cara Tuhan. Aku percaya ketika kita mengeraskan hati, kita akan stuck di level iman yang segitu-segitu saja. Namun, Tuhan itu mau anak-anakNya berkembang dan menjadi selalu lebih dekat denganNya. Therefore, Tuhan bakal terus memproses kita berkali-kali dengan cobaan atau masalah yang sama sampai kita pasrah dan memilih mendekatkan diri ke Tuhan dan mengenal caraNya bekerja. 

Tuhan benci orang yang sombong/tinggi diri/tinggi hati.

Merendahkan diri dan bertindak tidak sombong adalah hal yang patut kita terapkan dalam hidup ini. Tapi pada paham arti sombong ga sih? Gini ya, sering kali kita berpikir sikap sombong itu contohnya pamer barang baru yang orang lain ga punya atau menghina orang lain yang tidak memiliki sesuatu seperti yang kita punya. Eh ternyata ga cuman itu lho. Sombong yang lain itu bisa terjadi juga seperti ini: 

Ketika kita membuktikan diri ke orang lain bahwa kita mampu dan lebih besar dari orang lain, kita sombong.  

Sadar ga sih kalo kita membuktikan diri mati-matian ke orang lain just to get justification dari orang-orang ini. Yang lebih bahaya lagi, kalo kita mulai membuktikan diri  ke Tuhan bahwa kita mampu tanpa Tuhan. Isn't it clear that God doesn't like orang sombong? Dengan kita ga mau kalah sama orang lain saja, itu sudah termasuk sombong lho (Mazmur 56:1-8). Ketika kita punya keinginan untuk menjadi lebih sukses/lebih besar/lebih makmur/dan lebih lebih yang lain terhadap orang lain, kita sudah sombong di hadapan Tuhan. 

Ada kata-kata bijak yang berkata: Langit tidak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi, people know you are good if you are good. 

I think that's all I have to share from Sunday Service hari ini. Semoga notes kotbah simple ini bisa jadi berkat buat kalian yang baca. Sorry banget kalo masih banyak yg berupa dot points and have no further explanations. Next time, bakal nulis yang lebih rinci lagi. 


Thank you for reading this post! XoXo

Friday, August 19, 2011

Kini Saatnya Ilmu Humaniora Unjuk Gigi

Siapa yang tidak mengetahui Jepang? Negara itu sudah maju sejak zaman perang dunia. Negeri Sakura itu terkenal dengan berbagai kekreatifitasannya dalam memanfaatkan sesuatu. Sudah banyak contoh produk-produk Jepang yang merajalela di negeri kita. Dari kosmetik, obat-obatan, film, transportasi, bahkan komik. Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap segala sesuatu tentang Jepang bukanlah sesuatu yang tidak wajar untuk terjadi, mengingat Jepang memang negara yang cukup ‘berhasil’ di dalam teknologi. Tidakkah kita melihat ke jalan, segala transportasi yang ada merupakan merk-merk yang berasal dari Jepang. Kemampuan Jepang mengolah teknologi tentu saja tidak hanya dalam bidang transporatasi seperti itu, namun dalam sebuah rakitan-rakitan robot.
            Tercatat salah satu robot tercanggih di dunia saat ini adalah Asimo. Asimo adalah robot yang dibuat oleh Honda Motor Company – Jepang. Bentuknya menyerupai manusia dengan tinggi 130 cm dan berat 54 kg. Asimo tidak seperti robot biasa karena dia sangat ‘pintar’. Robot ini dapat menerima perintah suara serta memiliki gerakan yang lebih halus berbeda dengan robot-robot yang lain. Hal ini membuat Asimo dapat dimanfaatkan dalam berbagai pekerjaan.
            Selain Asimo, Jepang juga menciptakan T-52 ENRYU. Robot ini diciptakan pada tahun 2004 untuk membantu pengevakuasian gempa di Jepang. T-52 dapat mengangkat beban 500 kg dengan satu lengan. Tahun 2007, muncul versi terbaru dari T-52, yaitu T-53 yang diciptakan khusus untuk misi penyelamatan gempa di Jepang.
            Robot-robot di atas merupakan dua dari 10 robot yang tercatat sebagai robot tercanggih di dunia. Sungguh luar biasa, ya dapat menciptakan robot seperti itu. Dengan berbagai keahlian dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Jepang, mereka dapat menciptakan sebuah robot yang menyerupai manusia serta bertingkah laku hampir seperti manusia. Dapat diperintah dan dapat membantu manusia, walaupun sangat memiliki batasan tertentu. Selain memiliki keterbatasan kemampuan, untuk membuat sebuah Asimo, kita perlu mengeluarkan 100 juta Yen. Tidak murah untuk dikonsumsi!
            Manusia dapat menciptakan sebuah robot dengan ilmu-ilmu eksakta. Kita yakini saja para ilmuwan itu ingin sekali membuat robot yang serupa dengan manusia. Dengan kata lain, ingin menciptakan teman baru dengan ilmu-ilmu pasti yang mereka miliki. Segala jenis penemuan-penemuan dari ilmu eksakta nyaris tidak pernah mengecewakan. Bidang kedokteran misalnya. Hingga detik ini pun, para dokter-dokter selalu meneliti penyakit baru serta bagaimana menemukan penawarnya. Selain itu penciptaan-penciptaan lain seperti robot dan alat-alat dengan teknologi lainnya pasti memukau bila diperkenalkan pada masyarakat luas.
            Lalu bagaimana dengan humaniora? Ilmu ini seperti sudah terlupakan hilang ditelan bumi. Humaniora sering dianggap ‘kurang’ penting dan ‘kurang’ menarik karena penuh dengan teori yang membosankan. Humaniora juga sering dianggap kurang menarik karena tidak memiliki tantangan di dalamnya. Berbeda dengan ilmu-ilmu eksakta yang melakukan eksperimen, dan sebagainya.
            Apa yang dapat dilakukan oleh ilmu humaniora? Jika sepasang kekasih yang sudah menikah sedang dideru asmara, secara alami mereka akan melakukan hubungan seksual untuk menciptakan teman baru (keturunan). Walaupun memiliki unsur eksakta (biologis) di dalamnya, namun sebelum pasangan itu melakukan hubungan seksual, tentu saja mereka memiliki rasa cinta terlebih dulu. Rasa kesukaan satu dengan yang lain, kecocokan satu dengan yang lain, dan memiliki kepercayaan yang sama. Dengan begitu pasangan tersebut akan meneruskan hubungan mereka ke dalam sebuah pernikahan yang sah dan baru melakukan hubungan seksual untuk membuat teman baru.
            Hanya bermodal rasa sayang (ilmu humaniora) terhadap pasangan saja kita sudah bisa membuat seorang teman baru atau keturunan. Berbeda dengan ilmu eksakta yang perlu menghabiskan waktu cukup lama untuk bereksperimen dan membutuhkan banyak tenaga ahli serta uang yang tak sedikit untuk membuat sebuah Asimo yang memiliki keterbatasan.
            Humaniora adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya (Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI]) Masih dalam batas manusiawikah bila kita mengintip persoalan Libya dan Amerika?
            Banyak dari antara pihak yang berpendapat pro dan kontra terhadap masalah kedua negara ini. Bermula dari Khadafi yang sudah 42 tahun tidak turun jabatan hingga dikaitkan dengan Amerika mengincar tambang minyak Libya. Siapa yang peduli dengan itu semua, jika segala sesuatunya berujung kematian. Segala macam perang yang selalu ada di dunia tidak pernah luput dari darah yang tercucur serta jumlah korban yang tak terhitung banyaknya. Jika ilmu eksakta mampu menciptakan rudal-rudal canggih serta pesawat tempur F-16 milik Amerika, apakah ilmu eksakta juga mampu menjamin kita semua dapat menikmati dampak ’keindahan’ dari senjata ciptaannya itu?
            Untuk menghabisi 20 titik pertahanan Libya, Amerika membutuhkan lebih dari 110 rudal dan 48 nyawa melayang karenanya serta kurang lebih 150 orang luka-luka. Hal ini tak serta merta menerima sorak-sorai dari rakyat Amerika. Justru banyak demonstrasi yang terjadi di Amerika menentang adanya peperang lebih lanjut antara Libya dan Amerika. ”Kami tak percaya aksi militer dapat membawa demokrasi atau perdamaian dunia.” ujar salah satu demonstran Amerika (Liputan Berita VOA - 21 Maret 2011).
            Namun, tak semua orang dapat berpikir dengan kepala dingin dan berlandaskan humaniora. Khadafi sendiri menyatakan bila Amerika memang menginginkan perang yang sesungguhnya, Libya siap tempur menghadapi Amerika. Khadafi juga telah menempatkan kaum wanita dan anak-anak pada kompleks pemerintahannya dan di beberapa tempat sasaran untuk dijadikan perisai manusia. Lantas, dimana ilmu eksakta mempertanggung-jawabkan ini semua? Jika dari awal, Amerika dan Libya mau melakukan perundingan dengan kepala dingin, tentu saja tidak akan pernah ada senjata melawan senjata yang menumbalkan banyak jiwa tak berdosa.
            Begitu juga dengan perang Amerika dengan Vietnam. Pada tahun 1957 – 1975 dimana perang saudara antara Vietnam selatan dan Vietnam utara berseteru mempertahankan ideologi pemerintahannya masing-masing. Vietnam selatan yang didukung oleh Amerika terpukul kalah pada tanggal 30 April1975 oleh semangat rakyat Indochina (Vietnam utara). Dunia harus mengakui bahwa sebuah negara mandiri dengan peralatan persenjataan yang lengkap seperti Amerika, dikalahkan oleh sebuah semangat persatuan masyarakat Vietnam utara. Toh, hingga detik ini dunia mencatat kekalahan terbesar Amerika Serikat dalam sejarahnya adalah peperangannya dengan Indochina. Sebuah kekalahan teknologi canggih buatan ilmu eksakta oleh semangat juang pantang menyerah dan kecintaan pada bangsa yang merupakan salah satu ’karya’ dari ilmu humaniora!
            Tidak ada yang menyangka Amerika akan kalah dengan para Indochina dalam peperangan tersebut. Investigasi menyatakan, salah satu kegagalan Amerika dalam perang Vietnam adalah cara pandang mereka yang salah – menggampangkan daerah jajahan. Amerika selama itu tidak mengetahui adanya negara bernama Vietnam di dalam peta Asia Tenggara. Ketika Amerika mendapatkan kesempatan untuk ’masuk’ ke dalam negara itu, Amerika merasa dapat menguasai Vietnam dengan cepat. Namun, kebodohan Amerika menjadikannya terusir dari negara jajahannya tersebut. Tidaklah Amerika tahu bahwa masyarakat Vietnam yang sesungguhnya adalah masyarakat yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan tidak mudah menyerah (ilmu humaniora). Ketidakpedulian Amerika terhadap seluk beluk tentang Vietnam pada akhirnya dibayar mahal oleh Amerika. Karena ketidakpedulian itu yang menyebabkan Amerika cenderung berpikir bahwa Vietnam hanyalah sebuah ’negara kecil’ sehingga sikap awalnya menyepelekan.
            Sebagaimana warga dunia melihat kesuksesan demi kesuksesan yang diraih oleh cabang-cabang dari ilmu eksakta, sejauh itu juga mereka memandang sebelah mata sebuah ilmu humaniora. Pada intinya kedua ilmu dari kajian yang berbeda ini saling membutuhkan satu sama lain. Tidak ada yang kurang, tidak ada yang lebih. Tidak ada yang jelek dan tidak ada yang bagus. Semua sama.
            Apa jadinya dunia tanpa sebuah penemuan obat-obatan dari dunia farmasi? Maka semua orang sakit pasti mati tanpa pertolongan. Lalu, bagaimana dunia jika bursa saham mati pandangan hanya karena tidak ada ekonom-ekomom yang terlatih untuk mengamati grafik angka keuangan dunia? Sudah saatnya masyarakat sadar akan keberadaan serta kedudukan yang setara akan ilmu humaniora dalam siklus perputaran ilmu pengetahuan. Ada kalanya ilmu eksakta dapat unjuk gigi. Tapi ada kalanya juga ilmu humaniora diunggulkan. Dan kini, ketika dunia makin menghancurkan dirinya, sudah saatnya ilmu humaniora kembali tampil memimpin. Memimpin dunia yang damai dan sejahtera serta saling menghargai sesama manusia tanpa memandang agama, suku, bangsa, golongan, keyakinan, dan ras!

Wednesday, April 6, 2011

'AMAZING' Trip to Japan

             Our last holiday in Japan was amazing. My family and I were there for one week. Our trip started on 8th August 2009 until 15th August 2009. We were on the plane for 5-6 hours. After we arrived we went for city tour by mini bus. The weather in Tokyo was sunny and windy at that time. But sometimes it was rainy too. We stayed in one hotel that was Disney Land Tokyo Hotel.

            On the third day, we went to Ginza. Ginza is a lovely district in Tokyo. In there we can see many shops with world brands. I was very happy and kept looking around until I lost my family. Because Ginza is one of the busiest cities in the world and so many people in there, I started to panic and got confused to see many people around me. I was very afraid there! I lost my family and I didn’t know where my hotel is. I sat in front of a flower shop and waited around 30 minutes alone. I tried to ask the owner of the flower shop in English about the police office, but she didn’t understand what I was talking about. I wanted to cry but God is good. Before crying my mom and my little sister called my name and in the same time I knew Ginza wasn’t a quite district. It was like New York City!

            This is my memorable moment because it was out of mind. I went to another country and lost my family. I cannot speak in Japanese and they can’t speak in Indonesian, even English, so our communication there wasn’t good. To see my family again was God’s miracle to me. (vna)